Indonesian Authors
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Indonesian Authors

Komunitas Story Writer Indonesia
 
HomePortalLatest imagesSearchRegisterLog in

 

 [Oneshot] Titanic 2020

Go down 
AuthorMessage
eve

eve


Posts : 30
Coins : 10063
Reputation Points : 0
Join date : 2010-08-26
Age : 32

[Oneshot] Titanic 2020 Empty
PostSubject: [Oneshot] Titanic 2020   [Oneshot] Titanic 2020 EmptySun Aug 29, 2010 3:47 pm

TITANIC 2020

Manusia itu makhluk sombong.
Sejak awal mereka diciptakan sampai saat mereka dihancurkan akan selalu
seperti itu.


Aku hanya bisa menghela nafas saat pasukan Kerajaan Amerika
memulai proyeknya. Bagaimanapun, aku turut ambil bagian dalam proyek
itu sebagai Electrical System Specialist. Akal sehat memaksaku menerima
proyek itu. Maksudku, siapapun yang masih punya hati nurani tidak akan
setuju akan proyek ini, terutama jka kamu termasuk golongan orang
kalah. Golongan yang bukan merupakan bagian dari Kerajaan Amerika.


Demi proyek itu, sebuah Line Cruiser terbesar sepanjang sejarah
panjang manusia pun dibuat. Dan aku adalah salah satu orang yang
terlibat dalam penciptaannya. Kendaraan antarplanet berbentuk seperti
kereta api itu dibuat dengan mengunakan semua bahan yang tersedia di
Bumi. Bumi disedot habis-habisan untuk proyek yang mereka beri nama
‘Project Heaven’. Setiap sumber daya yang masih ada di Bumi di bawa
serta ke dalam Line Cruiser itu, dari garam sampai miligram terakhir
plutonium. Inilah kendaraan yang menurut pembuatnya bahkan Tuhan pun
takkan bisa menghancurkannya. Celakanya, aku adalah salah satu
penciptanya.


Ya, aku memang termasuk manusia sombong. Aku tidak menyangkal hal itu. Tapi paling tidak aku masih punya hati nurani.


Ketika proyek dimulai, aku dan hati nuraniku mau tidak mau merasa
sedikit risih. Bagaimana tidak, ratusan ribu bahkan jutaan orang
memohon agar bisa dibawa serta dalam benda terkutuk ini. Sementara para
pasukan pengamanan dengan perisai transparan dan pentungan mereka
dengan setia menutup pintu masuk. Seperti yang kubilang tadi, jika
kalian tidak berguna bagi Kerajaan Amerika, maka kalian adalah golongan
orang kalah. Dan golongan orang kalah akan ditinggalkan di planet yang
telah mereka kuras habis ini. Dengan cara seperti itu mereka menyebut
ini ‘Project Heaven’? Bagi sebagian orang mungkin lebih cocok disebut
‘Project Hell’!


Tiga jam sebelum pemberangkatan, mereka yang tidak diizinkan naik
mulai panik. Mereka nekat menerobos pasukan pengaman. Dan yang
menyambut mereka bukanlah pintu gerbang, melainkan peluru-peluru tajam
yang langsung mengoyak mereka. Sekali lagi hati nuraniku teriris. Aku
hanya bisa menatap mereka tanpa daya dari gerbong dua Line Cruiser.


Ah…


Siapa yang aku bohongi. Aku bukannya tanpa daya, aku hanya tidak
ingin melakukan sesuatu. Aku tidak ingin di depak dari tempat yang
nyaman ini. Aku dan istriku Tria yang entah kenapa masih belum muncul
juga. Padahal dia sudah berkali-kali kuingatkan untuk datang tepat
waktu.


Ah…


Mungkin saat ini dia sedang merapikan rambut hitam panjangnya.
Atau memberi lapisan gincu di bibirnya yang meski tanpa itu sudah
berwarna merah delima. Atau mungkin dia sedang memoleskan bedak tipis
di pipinya yang nanti akan merah merona saat kupuji betapa cantiknya
dia hari ini.
Gelombang manusia di bawah sana terus mengamuk meminta untuk di bawa
serta. Dan pasukan pengaman yang ironisnya sama sekali tidak memiliki
perasaan tidak mungkin memberi mereka izin. Beberapa ratus orang telah
menjadi korban peluru-peluru pasukan penjaga, pasukan yang mestinya
melindungi mereka.


Aku tak kuasa melihat pemandangan mengerikan di bawah sana. Aku
baru saja memalingkan wajahku ketika kurasakan sesuatu bergetar di
dalam saku. Mungkin ini Tria.


“Sayang…” Suara lebut yang selama beberapa tahun ini terus
menemani siang dan malamku terdengar dari speaker handphone hitamku.
“Aku terjebak masalah di sini.”


Begitu mendengar kata masalah, aku langsung berdiri. Pantas saja dia datang sedikit terlambat.


Tanpa mendengar penjelasannya lebih lama, aku berlari ke elevator.
Keuntunganku sebagai salah seorang kepala teknisi di sini adalah aku
punya akses tidak terbatas dalam Line Cruiser ini. Bahkan Presiden pun
tidak bisa menghentikanku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk tiba di
tempat masalah. Di pintu gerbang.


Entah siapa orang bodoh yang melarang istriku untuk naik ke dalam
Line Cruiser yang aku buat. Setelah sedikit memberi ceramah dan caci
maki, akhirnya aku dan Tria bisa duduk dengan nyaman kembali di Gerbong
6 Line Cruiser. Tria bersandar manja di bahuku sambil memejamkan mata.
Ku elus lembut rambut istriku tercinta. Mungkin aku terdengar munafik,
tapi dialah satu-satunya alasan aku ikut dalam proyek ini. Walau apa
yang terjadi aku ingin dia hidup. Dalam bahasa kasar, meski seluruh
dunia musnah asalkan dia tetap hidup bagiku tidak masalah.


Line Cruiser yang Gerrard -rekan kerjaku dan sekaligus orang yang
mengusulkan proyek ini kepada pihak Kerajaan Amerika- beri nama
Titanic, berdiri tegak menunjuk langit. Langit, tempat pelarian manusia
ketika mereka telah puas merusak apa yang ada di bumi. Mengenai
pemberian nama yang sedikit sarkastik menurutku, Gerrard hanya tertawa
kecil sambil berkata;
“Dia adalah kapal yang bahkan Tuhan tidak bisa tenggelamkan. Karenanya
dia butuh nama yang besar. Dan menurutku nama ini adalah nama yang
cocok.”
Tiga jam telah berlalu dan akhirnya tibalah waktu untuk pemberangkatan.
Aku kembali merenungkan pelaksanaan proyek ini. Proyek yang menurutku
mengerikan. Yang mengerikan bukan hanya kenyataan bahwa kami dengan
mudah meninggalkan ratusan jutaan orang di bawah sana dalam keadaan
tanpa sumber daya. Melainkan bahwa untuk bisa membuat Line Cruiser ini
bergerak mendekati kecepatan cahaya maka kami akan menggunakan satelit
di orbit bumi sebagai salah satu bahan pendorong. Caranya? Tentu saja
dengan meledakkan satelit itu. Meski berkali-kali aku mengajukan cara
lain, tapi Massriyadi sebagai Weapon and Energy Source Specialist
akhirnya memenangkan opini bahwa meledakkan satelit adalah yang
terbaik. Meledakkan satelit itu tentu saja akan ada dampaknya, dan
dampaknyalah yang paling tidak aku suka. Satelit itu akan hancur
berkeping-keping menjadi debris dan terus bercokol di sekeliling bumi.
Memotong hubungan antara Bumi dan angkasa luar. Asal tahu saja, sebuah
paku saja bisa menyebabkan lubang besar di badan pesawat luar angkasamu.


Ketika kuutarakan alasan itu kepada majelis pertimbangan, awalnya
mereka cukup setuju dengan apa yang aku kemukakan. Mereka juga tidak
berniat memutus hubungan dengan planet ‘tercinta’ ini. Tapi lagi-lagi
kepentingan menang atas hati nurani. Dan di sinilah uang memainkan
perannya. Aku hanya bisa meninggalkan ruang rapat majelis dengan
dongkol sambil menyeret ransel berisi file-file yang menunjukkan dampak
tidak menyenangkan dari rencana itu.


Getaran halus tempatku duduk serta geliat manja Tri di bahuku
akhirnya menarikku dari lamunan. Akhirnya Line Cruiser, Titanic, ini
berangkat. Dan artinya Project Heaven telah dimulai. Kami meninggalkan
atmosfer dengan mudah, menyisakan kepulan asap putih yang dari Pulau
Sulawesi akan terlihat seperti garis putih tipis yang membelah
cakrawala. Guncangan-guncangan kecil sedikit terasa saat kami melewati
tiap lapisan atmosfer, namun tahap pertama bisa dibilang mulus,
tentunya berkat kepiawaian Nawir sebagai Navigation and Control System
Specialist. Dialah yang mengendalikan Line Cruiser ini dari bumi hingga
tiba di sebuah planet baru, tiga bulan dari sekarang.


Lampu merah di langit-langit gerbong kemudian menyala. Menandakan
kalau tahap kedua telah dimulai. Tahap yang selama beberapa tahun ini
kuperjuangkan agar tidak dimasukkan ke dalam rencana. Yang kurasakan
hanyalah gaya gravitasi yang memaksaku bersandar di kursi. Hanya
sensasi sejenak itu yang menandai terputusnya hubungan antara Bumi dan
angkasa luar. Yang berarti tidak akan pernah ada orang dari bumi yang
akan keluar angkasa lagi.


Beberapa saat kemudian lampu merah berganti menjadi hijau. Artinya
kami telah lepas dari gravitasi bumi dan alat gravitasi buatan telah
dinyalakan. Harus kuakui kalau alat ciptaan Ahmad Wira ini adalah alat
terbaik dalam perjalanan ini. Sebuah cincin terus berotasi mengelilingi
badan gerbong yang menciptakan gravitasi buatan. Aku tidak begitu
mengerti teknisnya tapi dia adalah seorang jenius. Sayang dia tidak
bisa menikmati hasil penemuannya. Serangan jantung lebih dulu
memanggilnya. Semoga arwahnya tenang di alam sana.


Hamparan bintang yang tanpa henti di atas permadani gelap galaksi
bima sakti terlihat begitu indah dan memukau. Membuatku teringat pada
saat pertama kali bertemu dengan Tria di Orbital Station Lunar lima
tahun yang lalu. Tria sepertinya berpikiran sama sepertiku, bibir
manisnya tersenyum tipis sambil menatap hamparan bintang tanpa ujung
bersamaku. Andai semua ini tanpa akhir, mungkin inilah surga.


Lampu alarm seolah menarik semua surga yang baru aku nikmati
beberapa menit itu ke dalam black hole. Walky Talky di bahuku pun
berbunyi, tugas memanggil.


Ku kecup mesra bibir Tria lalu bergegas aku berlari ke elevator.


“Apa yang terjadi?” Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibirku
saat tiba di ruang kendali di Gerbong 1 mestinya sudah bisa aku jawab
sendiri. Karena hal yang aku tanyakan ada dalam salah satu file yang
kutarik penuh dongkol dari ruang rapat majelis beberapa waktu lalu.


“Coronal Mass Ejection!” Andry yang tengah sibuk mengetikkan
perintah ke console di hadapannya menjawab tanpa berbalik padaku. “Kita
akan kehilangan sistem komunikasi dan kelistrikan dua jam dari
sekarang!”
“Yah. Dan pada saat yang sama orang-orang di bumi sedang menikmati aurora.” Gerrard menatapku dengan sedikit sebal.


Kesempatan ini tidak kulewatkan begitu saja, kubalas tatapannya
dengan senjata andalanku, tatapan merendahkan! Dan itu berhasil, dia
tertunduk agak lama. Mungkin sedikit menyesal tidak mengikuti saranku
dulu. Tapi ada hal yang membuatku sedikit lebih khawatir…


Dua jam dari sekarang Line Cruiser ini akan tiba di sabuk
asteroid, dan tanpa sumber tenaga serta alat komunikasi, masuk ke sana
sama saja dengan bunuh diri. Gerrard tentunya tahu hal itu, terlebih
lagi Nawir. Nawir sendiri telah menyiapkan rute baru yang sedikit
memutar agar tidak sampai ke sabuk asteroid dalam dua jam. Ini jugalah
salah satu kekurangan dalam Line Cruiser terhebat buatan manusia, dia
tidak memiliki rem.


“Gerrard, kita harus mengubah arah.” Kataku sedikit lunak. “Efek
dari CME tdak bisa kita hindari. Kita termasuk beruntung karena kita
memiliki perisai elektromagnetik. Tapi kau paham kalau perisai itu
sendiri tidak begitu kuat, bukan?”


Seisi ruangan terpaku pada satu titik, Gerrard. Dialah pemimpin
proyek ini, dan dialah yang menentukan semua keputusan. Bagaimanapun
aku hanyalah kepala teknisi sekaligus wakilnya.


“Baiklah, bawa kita ke tempat yang aman.” Pada akhirnya Gerrard
menurunkan perintahnya lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Entah apa
yang dia sedang pikirkan, dia terlihat sedikit terpukul tapi oleh apa
dan karena apa aku sendiri juga tidak mengerti. Yang kutahu sekarang
adalah menjalankan tugasku sebagai Electrical System Specialist.


Aku mendapat tugas yang mudah kali ini, memastikan sistem kelistrikan tidak terganggu oleh CME nanti.


Aku berjalan cepat menuju tempat Tria duduk lalu memberikan sebuah komunikator padanya. “Gunakan ini jika terjadi apa-apa.”
Bukannya aku paranoid, aku hanya berjaga-jaga. Sebuah sikap yang pasti akan kalian lakukan jika berada dalam posisiku.


“Janganlah terlalu memaksakan diri.” Mata Tria memancarkan rasa
khawatir. Dia bukan orang yang bisa kubohongi dengan berkata tidak ada
apa-apa yang terjadi. Dia lebih pintar dariku dan kenyataannya, dia
lebih ahli dariku tentang CME.


Awalnya aku sendiri sama sekali tidak memprediksikan hal ini.
Bahkan orang paling paranoid pun tidak akan menduga hal ini akan
terjadi. CME level X23 mengarah langsung ke kami. Bukan sekali-duakali,
melainkan tiga belas kali! Perisai elektromagnetik Line Cruiser luluh
lantak dihantam badai proton. Sistem komunikasi lumpuh total begitu
pula dengan sistem kelistrikan. Titanic diselimuti gelapnya antariksa.


Orang-orang dalam gerbong mulai panik. Begitu pula para kru.
Beberapa mulai berlari memasuki kapal penyelamat dan hal itu jugalah
yang sedang aku lakukan bersama Tria. Kutarik lengan mulus Tria berlari
melewati koridor khusus teknisi. Menuju kapal penyelamat. Dan lagi-lagi
Tuhan memberi penghalang. CME barusan juga mengganggu sistem dari kapal
penyelamat.
Tidak mau menyerah, kuperintahkan Tria untuk mengenakan pakaian luar
angkasa dan masuk ke dalam kapal penyelamat. Bagaimanapun, dia harus
hidup!


Kukeluarkan semua kemampuanku sebagai teknisi, kuperiksa satu
persatu komponen dalam pesawat kecil itu. Dan akhirnya kutemukan sumber
masalahnya. CME menghanguskan central processor unit pesawat. Dan aku
beruntung karena aku selalu membawa sebuah benda seperti itu dalam
saku. Memang banyak orang yang sering mengataiku aneh karena membawa
benda seperti itu, tapi lihatlah siapa yang tertawa sekarang! Sementara
kalian kebingungan mencari pesawat penyelamat, aku akan memperbaiki
pesawat ini.


Aku tidak punya waktu banyak. Alarm kembali berdering
menjengkelkan, menunjukkan bahwa kami baru saja masuk kedalam sabuk
asteroid. Dan hal terburuk kembali terjadi. Hantaman keras dari
asteroid berdiameter tiga kilometer mengoyak gerbong 5. Ratusan orang
terlontar ke ruang hampa dan bisa kupastikan tidak ada yang akan
selamat!


“Kita harus pergi dari sini!” Dengan sedikit tergesa-gesa kunyalakan sistem kendali pesawat.


“Asteroid?” Tria yang sedari tadi berdoa dengan tenang bisa menebak apa yang sedang terjadi. Nalarnya memang tajam.


“Ya…” Aku tidak perlu menyembunyikan apa-apa. Dia sudah bisa
menebak semuanya. “Dan sebentar lagi Gerrard akan melepaskan gerbong
lima dan enam. Dan tentu saja, meledakkannya.”


“Meledakkannya!!?” Tria sepertinya sedikit terkejut. Dia tentu
tidak menduga kalau kami menggunakan banyak ledakan agar bisa sampai di
sini. “Untuk apa?”


Aku menghela nafas panjang. Untuk apa? Pertanyaan singkat yag seolah mengejek semua hal yang telah manusia lakukan.


Benar juga…


Sebenarnya semua ini untuk apa?


Ah…


Mereka mungkin tidak punya tujuan, tapi aku jelas punya. Aku harus
membuat Tria bertahan hidup! Dia tidak boleh mati, tidak di sini!
Aku berbalik, menatap perut Tria yang berisi buah hati kami. Mereka tidak boleh mati di sini!


“Mereka mungkin akan mencoba untuk kembali ke bumi. Paling tidak
itu jika Gerrard mengikuti manual.” Pandanganku kulemparkan ke luar
jendela. Menatap sebuah bola biru bernama Bumi. “Tapi bagi mereka,
kembali ke Bumi adalah pilihan buruk.”


Ku tarik tuas kemudi kapal penyelamat meninggalkan Gerbong 6.



Meninggalkan ratusan orang di dalam sana.


Dan beberapa saat kemudian, Gerbong 5 yang sudah hancur lebur
memisah dengan Gerbong 4, lalu meledak bersama dengan Gerbong 6.
Ratusan orang yang belum keluar dari Gerbong 6 sudah jelas nasibnya.
Dan entah mengapa aku sama sekali tidak merasa kasihan. Berbeda saat
aku melihat orang di Bumi yang tertembus peluru pasukan penjaga. Apa
hati nuraniku sudah mati?
Dan akhirnya, dinding terakhir membentang di hadapanku. Aku sudah tidak
mungkin kembali lagi ke Titanic, hal terakhir yang kulihat dari line
cruiser itu adalah sebuah asteroid lain yang menghantam Gerbong 1.
Tanpa perisai elektromagnetiknya, mereka adalah kantong kertas yang
melayang di luar angkasa. Dugaan terbaik, Gerbong 4 sempat memisahkan
diri dan selamat. Tapi untuk memisahkan Gerbong 4 secara manual tanpa
perintah dari Gerrard di Gerbong 1 perlu kode dari Setiawan. Sayangnya,
komunikasi terakhir darinya menunjukkan kalau dia berada di Gerbong 5
saat asteroid menabrak. Kemungkinan, Titanic telah hancur
berkeping-keping.


Tanpa jalan untuk kembali, aku dihadapkan oleh dua pilihan. Tetap
mengorbit Bumi seperti ini sampai cadangan makanan serta oksigen kami
habis. Atau dengan nekat menerobos debris di depan sana. Dua-duanya
berakhir menyakitkan. Dan jelas aku tidak ingin ini berakhir
menyakitkan. Tidak untuk Tria!


“Tria…” Aku melepaskan kendali kapal penyelamat lalu melayang ke dekat istriku tercinta.


Tria sedikit heran melihat tingkah anehku. Terus terang saja, aku
juga tidak mengerti aku sedang melakukan apa. Hal terakhir yang kuingat
adalah aku mengecup mesra bibir merah delimanya lalu kembali ke tuas
kendali. Aku melemparkan senyum terbaikku padanya lalu menekan tombol
merah yang akan membuat kapal penyelamat ini menjadi dua bagian. Sempat
kulihat Tria memukul-mukul kaca jendela yang memisahkan kami. Tapi
keputusanku sudah bulat. Mereka harus hidup!


Kapal penyelamat terpisah menjadi dua bagian dan hanya dihubungkan
oleh sebuah kawat. Tanpa banyak bicara lagi, aku membawa kapalku dengan
kecepatan penuh, membiarkan kapalku yang berada paling depat menghantam
debris-debris di luar atmosfer. Lampu peringatan bahaya dan alarm
berbunyi tanpa henti-hentinya. Tapi aku tidak peduli, terus kutambah
kecepatanku. Entah aku berhalusinasi atau apalah, bisa kudengar
tangisan Tria dari belakang sana. Aneh, setahuku semua alat komunikasi
sudah lumpuh. Meski bukan tangis yang ingin kudengar melainkan tawa,
tapi asalkan ini suaranya bagiku tidak masalah. Meski ini hanya
halusinasi asalkan ini adalah suaranya bagiku tidak masalah. Yang jelas
dia harus hidup!
Pandanganku mulai berkunang-kunang oleh panas yang menyelimuti tubuhku…


Telingaku tidak bisa mendengar apa-apa lagi kecuali suara tangisan Tria yang mungkin hanya halusinasi…


Tubuhku sudah meninggalkan rasa sakit yang ditimbulkan potongn besi yang menembus perutku…


Perlahan-lahan dinding pesawat penyelamatku memerah oleh panas.
Aku berhasil menembus lapisan debris yang memutuskan hubungan manusia
dengan antariksa. Aku berhasil!


sedikit-demi sedikit pesawat yang kutumpangi mulai hancur…


Tugasku berakhir di sini…


“Rea… Rea… Rea…”


Suara lembut Tria mengalun lembut di kedua gendang telingaku.
Memaksaku membuka mata dan menemukan wajah anggunnya diterpa cahaya
lampu.


“Lagi-lagi kamu tiduran di sini. Kalau ketahuan penjaga bisa gawat
lho.” Tria yang mengenakan blouse biru dengan rok merah muda selutut
melayang ringan ke tempatku berbaring. Menara pengawas Orbital Station
Lunar.


“Memangnya penjaga bisa menangkapku?” Aku tertawa sedikit sombong.



“Lagipula, kamu tidak mungkin memberi tahu penjaga, bukan?”


“Tahu dari mana kamu?” Tria menatapku dengan senyum manis tapi bernada mengancam.


“Karena aku ingin kamu menjadi istriku.” Aku memasang senyum
terbaik yang pernah kumiliki sambil memasang cincin di jari manisnya.


Wajahnya yang tersipu malu masih terbayang hingga kini. Begitu
pula suaranya yang terus memanggilku lembut hingga lima tahun
berikutnya. Dan yang terdengar paling nyaring kini adalah tangisnya
yang entah bagaimana terus terngiang di telingaku. Kenapa kamu menangis
Tria? Aku tidang ingin mendengar tangisanmu. Yang ingin kudengar adalah
tawamu. Yang ingin kudengar adalah candamu bersama dengan anak kita
yang akan lahir beberapa bulan lagi. Yang ingin kudengar adalah kata
yang selalu kau bisikkan di telingaku di setiap malam yang kita lewati
bersama. Yang ingin kudengar adalah kata yang dulu kau ucapkan saat kau
menerima lamaranku.


“AKU CINTA PADAMU”


Dan tubuhku pun melebur dalam atmosfer. Meninggalkan jejak cahaya
keperakan di cakrawala langit malam. Malam itu tiga buah goresan cahaya
nampak di sisi utara rasi bintang libra. Tapi hanya satu yang sampai di
bawah sana.


Manusia itu makhluk sombong. Sejak awal mereka diciptakan sampai saat mereka dihancurkan akan selalu seperti itu.

Tapi aku bangga menjadi seorang manusia. Karena aku diperkenalkan akan cinta.
Back to top Go down
http://3knot.kemudian.com
 
[Oneshot] Titanic 2020
Back to top 
Page 1 of 1
 Similar topics
-
» [Oneshot] Nelli
» [Oneshot] Fragment

Permissions in this forum:You cannot reply to topics in this forum
Indonesian Authors :: Stories :: Original Story-
Jump to: